-->
Suasana perayaan idul adha di Sudan secara dhahirnya memang tidak se-semarak di Indonesia. Tidak ada takbir keliling, tidak ada penjual lilin dan kembang api dadakan, bahkan takbir yang berkumandang pun tidak sepanjang takbir yang mengalun di negara kita. Ini bukan berarti Sudan kurang memperhatikan perayaan hari besar Islam. Sama seperti suasana lebaran idul fitri yang lalu, tidak ada perbedaan mencolok antara hari raya dengan hari-hari biasa. Atau antara Bulan Ramadhan dengan bulan-bulan yang lain. Kondisi jama’ah di mesjid-mesjid tetap stabil meski hari raya telah berlalu. Ini yang berbeda dengan kondisi di negara kita, mesjid ramai pada hari atau bulan tertentu saja seperti hari jum’at, hari raya dan bulan ramadhan. Selain hari-hari tersebut jamaah berkurang drastis. Ilustrasi lain yang bisa kita contohkan, ditutupnya berbagai bentuk pusat hiburan berbau maksiat di negara kita pada hari-hari besar Islam, namun hari H plus 1 tempat-tempat hiburan tersebut kembali beroperasi. Seakan, hari besar Islam hanya seremonial belaka.
Saat lebaran seperti ini, yang terbayang adalah sepiring lontong dengan paru goreng sambal atau rendang, menu wajib lebaran di tanah air. Sedang di sudan, kita harus puas dengan suguhan permen di setiap rumah yang kita kunjungi. Sebenarnya ada sajian ful, ‘ashidah, qurrasah dan sejenisnya. Sayangnya, lidah Asia agak susah beradaptasi dengan jenis makanan khas Sudan ini. Namun demikian, masyarakat Indonesia di Sudan masih bisa tersenyum karena ada open house di wisma KBRI dan beberapa kediaman pejabat KBRI. Tentunya ada pilihan menu indonesia yang bisa dinikmati sebagai pengobat rindu terhadap kampung halaman.
Suasana perayaan idul adha di Sudan secara dhahirnya memang tidak se-semarak di Indonesia. Tidak ada takbir keliling, tidak ada penjual lilin dan kembang api dadakan, bahkan takbir yang berkumandang pun tidak sepanjang takbir yang mengalun di negara kita. Ini bukan berarti Sudan kurang memperhatikan perayaan hari besar Islam. Sama seperti suasana lebaran idul fitri yang lalu, tidak ada perbedaan mencolok antara hari raya dengan hari-hari biasa. Atau antara Bulan Ramadhan dengan bulan-bulan yang lain. Kondisi jama’ah di mesjid-mesjid tetap stabil meski hari raya telah berlalu. Ini yang berbeda dengan kondisi di negara kita, mesjid ramai pada hari atau bulan tertentu saja seperti hari jum’at, hari raya dan bulan ramadhan. Selain hari-hari tersebut jamaah berkurang drastis. Ilustrasi lain yang bisa kita contohkan, ditutupnya berbagai bentuk pusat hiburan berbau maksiat di negara kita pada hari-hari besar Islam, namun hari H plus 1 tempat-tempat hiburan tersebut kembali beroperasi. Seakan, hari besar Islam hanya seremonial belaka.
Sejatinya, dimanapun idul adha dirayakan, spirit utamanya tetaplah sama. Sejauh mana kita merefleksikan kadar pengabdian dan keikhlasan menjalankan perintah Allah swt. Lewat idul adha, setahun sekali kita diingatkan kembali bagaimana besarnya pengabdian Nabi Ibrahim yang sanggup mengorbankan anak kesayangannya demi menjalankan perintah Allah swt. Juga keikhlasan Nabi Ismail yang merelakan lehernya untuk ditebas karena atas dasar ketaatannya kepada Allah Swt. Peristiwa bersejarah inilah yang sampai sekarang kita teladani dengan mengorbankan sapi maupun kambing pada saat idul adha untuk dibagikan kepada fakir miskin dan mereka yang berhak.
Adapun, daging yang berlimpah, makanan yang lezat dan keceriaan saat lebaran adalah bonus bagi kita yang merayakannya dengan penuh rasa syukur. Seperti tomyam maknyus yang kami nikmati saat silaturrahmi ke rumah Pak Fajar dan Bu Lisa di kawasan inkoz malam itu..
Tabek,-
Kullu Sanah wa Antum Thayyibun..
Baraka Allah Fik.. Ya Gamil..