Ada pepatah mengatakan, ‘Beda rambut, beda pula pikiran’. Kenapa mesti rambut? Hal ini tidak perlu dipermasalahkan. Yang jelas, pepatah ini menggambarkan perbedaan pendapat di antara kita adalah hal yang lumrah terjadi. Perbedaan sudah menjadi fitrah kita sebagai makhluk yang memiliki hati dan akal (heart and mind). Beda selera, beda pandangan, beda sikap, beda kemauan, beda aliran dan beda kepercayaan lahir dari pergolakan hati dan akal yang berbeda-beda.
Dalam Islam, ada hal-hal prinsipil yang tidak mentolelir perbedaan pendapat, yaitu dasar-dasar agama (ushuluddin). Seperti keesaan Allah, Muhammad sebagai rasul akhir zaman, jumlah raka’at shalat lima waktu dan lain sebagainya, karena semua perkara ini memiliki dalil yang jelas dalam Al-Qur’an dan Hadist (qath’i). Sedangkan dalam masalah furu’iyah (cabang) dan tidak ada dalil yang menjelaskan secara tegas, maka sah-sah saja terjadi perbedaan pendapat. Seperti jumlah rakaat shalat tarawih, hukum memelihara jenggot, batasan kepala yang harus dibasuh saat berwudhu, memakai celana melewati batas mata kaki, dsb.
Fenomena yang ada di lapangan, umat Islam hari ini justru lebih banyak disibukkan dengan selisih pendapat dalam persoalan furu’iyah yang bukan hal mendasar dalam Islam seperti contoh-contoh di atas. Jadi sangat miris rasanya, saat kita sibuk memperdebatkan batasan kepala yang harus dibasuh saat berwudhu, sementara di Pelestina, banyak umat Islam yang kehilangan kepala karena kedhaliman orang kafir, dan kita tidak bisa berbuat banyak.
Keypoint yang harus dipahami adalah, perbedaan tidak identik dengan perpecahan. Perbedaan itu manusiawi dan harus dihadapi dengan arif agar tidak menimbulkan perpecahan. Sikap keras hati, egois, iri, dengki, merasa selalu benar, dan menganggap mereka yang berbeda pendapat dengannya sebagai musuh adalah penyakit hati yang menjadi sumbu utama pemicu perpecahan.
Kenapa kita harus memusuhi perbedaan? Toh, Para Nabi juga berselisih pendapat. Keputusan Nabi Daud pernah diralat oleh Nabi Sulaiman menyangkut perkara hukum atas rakyat mereka (dikisahkan dalam Surah Al-Ambiya). Nabi Musa dan Nabi khaidir berselisih pendapat dalam sebuah perjalanan (dikisahkan dalam Surah Al-Kahfi). Namun, perbedaan itu tidak menimbulkan perpecahan atau permusuhan di antara mereka.
Malaikat yang tidak memiliki emosi dan nafsu juga bisa berbeda pendapat. Hal ini diceritakan dalam kisah seorang pembunuh yang telah membunuh 100 korban. Akhirnya pembunuh ini sadar dan ingin bertaubat. Namun, dalam perjalanannya menuju taubat, si pembunuh ini meninggal dunia. Malaikat Rahmah (Ridwan) ingin memasukkannya ke syurga karena ia telah bertaubat, sementara Malaikat Azab (Malik) tetap bersikukuh ingin memasukkannya ke neraka karena ia telah membunuh ratusan nyawa manusia. Perselisihan ini berakhir setelah Allah Yang Maha Penyayang memutuskan bahwa si pembunuh yang telah bertaubat ini layak masuk syurga.
Ada ungkapan indah dari Syeh Muhammad Rasyid Ridha yang berbunyi ; “Marilah kita tolong menolong pada perkara yang kita sepakati, dan mari kita saling menghargai pada perkara yang kita perselisihkan”.
Jadi, kalau Para Malaikat dan Para Nabi saja bisa berbeda pendapat, mengapa kita harus pecah dan bermusuhan karena perbedaan?
komen dulu baru baca :D
sepertinya masalah ikhtilafiyah nih..
berbeda pendapat itu wajar sih
setujuuu!!!
salam bloofer :)
nice post....betul justru banyak kita lihat sekarang, perpecahan terjadi karna berbeda pendapat ^_^
aku setuju... bener memang, malaikat aja sempat berkubu sejak awal ketika Tuhan hendak menciptakan manusia.... ^_^
benar, jangan kita terlalu senang melihat perbedaan jauh daripada persamaan ^_^
Betul betul betul .. ^^