Di
sebuah warung bakso, daerah Banda Aceh. Seorang pramusaji menghampiri saya dan
bertanya, “Mau pesan apa Mas?”
Sekali
lagi saya pandang wajah itu lekat. Lalu, pandangan berpindah ke seluruh ruangan.
Kemana perginya perempuan Aceh yang selalu saya kagumi sepuluh tahun silam.
Perempuan Aceh yang tangguh, cerdas dan teguh imannya. Lembut, santun, namun
tetap berkarakter bahasanya. Sopan dan sederhana penampilannya namun tetap elok
di pandang mata.
Kali ini
mata saya tertuju pada sekelompok anak muda, sekitar tujuh remaja tanggung.
Sekelompok muda-mudi. Perilaku ‘cuek’ mereka tunjukkan lewat cara berpakaian,
cara berbicara dan bertatap-tatapan, sesekali cekikikan dan
serunduk-serundukan. Hati ini miris melihat anak sekolahan seperti mereka masih
berkeliaran malam-malam begini.
Casio digital di pergelangan tangan menunjukkan
Pukul 22.16. Saya melenguh sambil mengusap wajah dengan kedua belah tangan. Si
pramusaji ikut mengusap wajah dengan tangan kanannya, sementara tangan kirinya
masih memegang daftar menu.
Jika
kita menoleh ke belakang, sekitar tiga-empat abad silam. Saat itu peran
perempuan dalam pemerintahan di kerajaan Aceh sangat besar. Hal ini pernah
diakui oleh P.J. Veth, seorang profesor di bidang etnologi dan geografi
Universitas Leiden, Belanda. Pada tahun 1870 Veth menulis sebuah artikel yang
berjudul, “Vrouwen Regeringen in den Indesche Archipel” (Pemerintahan
Perempuan di Kepulauan Nusantara), artikelnya dimuat dalam majalah Tijdschrift
voor Nederlandsch-Indie (TNI).
Veth mengakui bahwa tidaklah mudah untuk
menemukan figur perempuan yang memerintah di Nusantara. Yang harus digaris
bawahi adalah ungkapan Veth selanjutnya, “Yang paling mengagumkan dari semua
contoh pemerintahan perempuan di Nusantara adalah Kerajaan Aceh Sumatera, suatu
kerajaan yang mempunyai tempat yang sangat penting dalam sejarah!”
Sangat
kontras dengan putri-putri Aceh yang ada di hadapan saya saat ini. Saya melirik
pramusaji itu sebentar, ia mungkin kesal dengan sikap saya. Kedua alis matanya
bertaut. Pikiran saya kembali berkelana.
Bukan
sebuah ‘romantisme sejarah’. Tapi, kita berharap warisan keagungan peradaban
Aceh terdahulu bisa memberikan kontribusi pemikiran dan penyadaran terhadap
generasi kini. Sehingga seatu saat, mungkin tidak lama lagi, akan terjadi
‘kelahiran kembali’, sebagaimana peradaban barat lahir dari puing-puing
kehancuran peradaban Yunani – Romawi. “With disintegratio, kata Tonybee,
comes rebirth”.
Bagaimana
dengan Aceh? Apakah ‘tengkorak-tengkorak’ dari peradaban Aceh yang gemilang
sudah lebur dengan tanah atau menjadi debu yang diterbangkan angin, hingga
begitu ringkih dan tidak mampu untuk ‘lahir kembali’? Di mana perempuan Aceh yang seharusnya menjelma menjadi Ibu yang melahirkan
peradaban baru itu? Berbagai pertanyaan berkecamuk di benak saya, kening ini
berkerut. Dan kening pramusaji itupun ikut berkerut.
Dalam
hati saya berharap, di luar sana. Di beranda rumah, di
meunasah, di ruang kelas, di aula kampus, di kantor
pererintahan, di balai desa, di rumah sakit, di pasar hingga di sawah, semoga masih banyak srikandi Aceh setangguh
Malahayati dan seteguh Iman Cut Nyak Dhin.
Teringat sikap Cut Nyak Dhien,
ketika jari Letnan Van Vuuren menyentuhnya dalam perebutan senjata. Cut Nyak
Dhien berseru, “Jangan kau menyinggung kulitku, kafir! Jangan kau nodai
tubuhku!” Sayapun manggut-manggut takjub dalam hati, Sang Pramusaji malah
geleng-geleng kepala.
Kata-kata
Ibu sebelum saya berangkat menuntut ilmu ke Jakarta kembali terngiang, “Nyan
bek ka mita peurumoh hideh! Di Aceh get that jai dara mameh yang jroh keu peurumoh!”
Sayapun tersenyum, akankah ibu-ibu Aceh saat ini masih berpesan seperti itu
pada anaknya yang akan merantau?
“Mas,
ditanya kok bengong sih, senyum-senyum sendiri lagi! Capek deh...” Si pramusaji menegur saya
dengan bahasa yang ‘dipaksakan’ gaul itu. Saya kaget campur geli dengar
dialegnya.
“Bang!!
Peu ilee neu peusan?!” Serunya lantang. Kali ini saya tertawa kecil, karakter
Acehnya keluar juga, hehe.
Si
pramusaji menggigit bibir atasnya pertanda memohon jawaban segera.
“Bakso
tok, tampa ngen teh dingin beh!”
|
Laksamana Malahayati
|
Banda
Aceh, -